Latar Belakang Konflik Poso
Konflik
di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan
sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum
bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di
Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah
berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan
menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso
adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat
suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di
Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku
asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo
Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok
besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut
dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan
ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok
pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada
di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok
besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja
Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa
seperti halnya kelompok pertama.
Kalau
dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam
dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah
mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi
adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang
berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini
masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul
Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman
ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan
yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat
kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai
kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal
konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan
Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku[1].Untuk
seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang
terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa
menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat
perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen.
Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima
diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan
masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang
melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum
meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik
lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas
keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi
akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso,
Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut
Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa
15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa
Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini
mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan
melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil”
tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai
melebar apalagi berlarut-larut.
Memang,
setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun
seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat
keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso
kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal
kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama
setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni
2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada
Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut
memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga
kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.[2]
Namun
pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu,
mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap
memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan
yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya
bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar
Poso. Wilayah Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang
dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas
masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari
luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki
kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona,
dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus,
mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa
yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola
ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik
itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat
banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang,
benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang
mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas
disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola
keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan
pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang
kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua
berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan
bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik
pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut
”tawuran”, [3]
sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan
wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas
kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok
lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras,
kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras
bersama.
Mulai
Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik
telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada
upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan
terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai
bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui
ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi
bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan
pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan
batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah
mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan
kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik
Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang
sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele
berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam
kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu
miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya
dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs
penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan
sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi
dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya
berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.
Akar
penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian,
namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis.
Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial
Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk
dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan
dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik,
terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik
agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama
dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas
Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun,
di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun
1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal
30-an persen. [4]
Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan
Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya
Budha dan Hindu. [5]
Proses
pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan,
sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso,
konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas
perubahan komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di
kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur
kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti
lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke
Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses
migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang
Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu
membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak
saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam
komunitas keagamaan.
Fakta
pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era
kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya
mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas
keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen
yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2).
Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi
peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi
kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas
keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa
pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting
dalam mencermati konflik Poso.
Dari
situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat
kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping
kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula
kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para
laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang
memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.
Penyelesaian
Konflik Poso, 4 Kesepakatan Diimplementasikan
Kesepakatan pertama dalam pertemuan
itu, menurut Wapres, adalah tentang penekanan penyelesaian masalah secara
damai melalui dialog yang melibatkan semua pihak. Untuk mewujudkan ini, antara
lain dengan menghidupkan kembali kelompok kerja Malino dalam rangka
meningkatkan silaturahmi dan dialog antartokoh agama dan masyarakat. Dalam
kesepakatan kedua, menurut Wapres, seluruh pihak menyatakan bahwa aksi teror
yang terjadi di Poso dianggap sebagai musuh bersama yang harus diatasi. “Kita
harus atasi secara terbuka, artinya transparan. Semua harus memberikan saksi.
Kita selesaikan secara hukum,” kata Wapres dalam konferensi pers, kemarin.
Ketiga, khusus insiden di Tanah Runtuh, Wapres mengungkapkan disetujui
pembentukan tim investigasi pencari fakta. Tim ini akan diketuai oleh pejabat
dari Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan dengan melibatkan TNI, Polri,
dan MUI (Melis Ulama Indonesia). Sebagai kesepakatan keempat, demikian Wapres,
pemerintah berencana menghidupkan kondisi sosial dan ekonomi di Poso.
Rencananya, pemerintah akan mengirimkan Menteri Sosial (Mensos) dan Menteri
Pekerjaan Umum guna melihat kondisi sosial dan ekonomi di Poso. Bahkan,
pemerintah pusat akan mengeluarkan dana pendukung untuk hal ini. “Kita akan
memberikan dana yang cukup untuk menggerakkan ekonomi masyarakat agar
generasi muda bisa bekerja,” jelas Wapres. Terkait hal ini, Departemen Sosial
telah menyiapkan dana sebesar Rp18 miliar untuk program rehabilitasi sosial
konflik di Poso. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur
lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat korban konflik. “Sesuai Surat
Kuasa Pengguna Anggaran (SKPA) dana yang telah dianggarkan Rp18 miliar untuk
Poso,” kata Direktur Jenderal Jaminan Bantuan Sosial Departemen Sosial
(Depsos) Chazali H Situmorang. Sementara itu, Wapres dalam kesempatan itu
menegaskan pula, pemerintah melalui kepolisian telah menangkap banyak pelaku
teror di Poso yang terjadi beberapa waktu lalu. Pernyataan Wapres ini didukung
paparan Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam. Dikatakan
Anton, selama ini Polri terus intensif melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus
yang terjadi di sana. Anton mengatakan, serangkaian kerusuhan Poso dan Palu
sejak tahun 2001 sampai saat ini dilakukan dua kelompok kecil: kelompok Tanah
Runtuh dan kelompok Kaya Maya Kompak. 'Menurutnya, kedua kelompok inilah yang
melakukan serangkaian kerusuhan di Sulteng selama ini. Dari berbagai aksi
kejahatan yang dilakukan kedua kelompok itu, Polri telah mengungkap 13 kasus
dan menangkap 15 tersangka. “Saat ini Polri tengah mengejar 29 lagi pelaku
kerusuhan yang diduga dilakukan dua kelompok tersebut,” kata Anton kepada
SINDO, kemarin. Kasus-kasus yang berhasil diungkap adalah 10 kasus teror bom,
perampokan, serta penembakan. Misalnya, kasus pembunuhan I Wayan Sumaryase
yang teIjadi 2001; pembunuhan Bendahara Gereja GKSP Morante Jaya pada 2003;
ledakan bom di Pasar Tentena dan Pasar Sentral Poso pada 2004; dan mutilasi
tiga siswi Poso
Dampak
yang Ditimbulkan Paska Konflik Di Poso
Kerusuhan yang terjadi di Poso
menimbulkan dampak sosial yang cukup besar. jika di liat dari kerugian yang di
akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara
psikologis juga berdampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu,
Dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari
keseluruhan, kerusuhan Poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan
suatu tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang
dilancarkan secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap penduduk muslim kota
Poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman kabupaten Poso yang tidak
mengerti sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota Poso.
Dampak kerusuhan poso dari beberapa
segi :
a. Bidang Budaya
- Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya.
- Runtuhnya nilai – nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesatuan yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial masyarakat Poso.
b. Bidang Hukum
- Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok merah dan kelompok putih.
- Tidak dapat dipertahankan nilai-nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
- Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hukum di masyarakat Kabupaten Poso.
- Munculnya perasaan dendam dari korban-korban kerusuhan terhadap pelaku kerusuhan.
c. Bidang Politik
- Terhentinya roda pemerintahan.
- Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah di mata masyarakat.
- Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing – masing kelompok kepentingan.
- Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.
d. Dibidang Ekonomi
- Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
- Terhentinya roda perekonomian.
- Rawan pangan.
- Munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja.
Solusi
Konflik Di Poso
Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla
mengungkap¬kan, ada empat hal pokok yang telah menjadi kesepakatan ber¬sama
dalam penyelesaian konflik Poso. Kesepakatan yang merupakan hasil dialog
pemerintah dengan tokoh masyarakat dan agama di Poso Minggu (29/10) itu akan
segera diimplementasi¬kan dalam langkah konkret.
Kesepakatan pertama dalam pertemuan
itu, menurut Wa¬pres, adalah tentang penekan¬an penyelesaian masalah secara
damai melalui dialog yang me¬libatkan semua pihak. Untuk mewujudkan ini, antara
lain de¬ngan menghidupkan kembali kelompok kerja Malino dalam rangka
meningkatkan silatu¬rahmi dan dialog antartokoh agama dan masyarakat.
Dalam kesepakatan kedua, menurut
Wapres, seluruh pi¬hak menyatakan bahwa aksi te¬ror yang terjadi di Poso
diang¬gap sebagai musuh bersama yang harus diatasi. “Kita harus atasi secara
terbuka, artinya transparan. Semua harus mem¬berikan saksi. Kita selesaikan
secara hukum,” kata Wapres da¬lam konferensi pers.
Ketiga, khusus insiden di Ta¬nah
Runtuh, Wapres mengung¬kapkan disetujui pembentukan tim investigasi pencari
fakta. Tim ini akan diketuai oleh pejabat dari Kementerian Politik, Hukum, dan
Keamanan dengan melibatkan TNI, Polri, dan MUI (Melis Ulama Indonesia).
Sebagai kesepakatan keem¬pat,
demikian Wapres, peme¬rintah berencana menghidup¬kan kondisi sosial dan ekonomi
di Poso. Rencananya, pemerin¬tah akan mengirimkan Menteri Sosial (Mensos) dan
Menteri Pekerjaan Umum guna melihat kondisi sosial dan ekonomi di Poso. Bahkan,
pemerintah pu¬sat akan mengeluarkan dana pendukung untuk hal ini.
“Kita akan memberikan da¬na yang
cukup untuk mengge¬rakkan ekonomi masyarakat agar generasi muda bisa beker¬ja,”
jelas Wapres.
Terkait hal ini, Departemen Sosial
telah menyiapkan dana sebesar Rp18 miliar untuk pro¬gram rehabilitasi sosial
konflik di Poso. Dana tersebut akan di¬gunakan untuk pembangunan infrastruktur
lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masya¬rakat korban konflik. “Sesuai Su-rat
Kuasa Pengguna Anggaran (SKPA) dana yang telah diang¬garkan Rp18 miliar untuk
Poso,” kata Direktur Jenderal Ja¬minan Bantuan Sosial Departe¬men Sosial
(Depsos) Chazali H Situmorang.
Sementara itu, Wapres dalam
kesempatan itu menegaskan pula, pemerintah melalui kepo¬lisian telah menangkap
banyak pelaku teror di Poso yang terjadi beberapa waktu lalu. Pernyata¬an
Wapres ini didukung papar¬an Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton
Bachrul Alam. Dikatakan Anton, selama ini Polri terus intensif melaku¬kan
penyidikan terhadap kasus-¬kasus yang terjadi di sana.
Anton mengatakan, serang¬kaian
kerusuhan Poso dan Palu sejak tahun 2001 sampai saat ini dilakukan dua kelompok
kecil: kelompok Tanah Runtuh dan kelompok Kaya Maya Kompak. 'Menurutnya, kedua
kelompok inilah yang melakukan serang¬kaian kerusuhan di Sulteng sela-ma ini.
Dari berbagai aksi keja¬hatan yang dilakukan kedua ke¬lompok itu, Polri telah
mengung-kap 13 kasus dan menangkap 15 tersangka. “Saat ini Polri tengah
mengejar 29 lagi pelaku kerusuh¬an yang diduga dilakukan dua kelompok
tersebut,” kata Anton kepada SINDO.
Kasus-kasus yang berhasil di¬ungkap
adalah 10 kasus teror bom, perampokan, serta pe-nembakan. Misalnya, kasus
pembunuhan I Wayan Suma¬ryase yang teIjadi 2001; pembu¬nuhan Bendahara Gereja
GKSP Morante Jaya pada 2003; ledak¬an bom di Pasar Tentena dan Pasar Sentral
Poso pada 2004; dan mutilasi tiga siswi Poso.
0 komentar:
Posting Komentar