Follow us

LightBlog

ABOUT AUTHOR

Adbox
Azqinet.blogspot.co.id . Diberdayakan oleh Blogger.

PENYEBAB DAN PENYELESAIAN KONFLIK POSO



Latar Belakang Konflik Poso
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Pelbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen.  Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku[1].Untuk seterusnya agama dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejooleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember 1998, konflik kedua terjadi April 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.[2]
Namun pola konflik Poso terlalu kompleks untuk dianalisis hanya berdasar urutan itu, mengigat intensitas dan ekstensitas wilayah dan pelaku konflik antar tahap memperlihatkan perbedaan yang sangat mendasar. Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di Poso. Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama. Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas masa yang cukup besar, yang  berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus, massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana, kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala. Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi masssa bahkan semakin membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan pertama dan kedua.
Pola ketiga adalah kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata tajam, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api. Informasi yang didapat banyak mengakana bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000 diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.
Pola keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda, dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya tepat disebut ”tawuran”, [3] sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda antar kampong, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian kecil kecamatan kota. Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan, setelah tahu bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan November-Desember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sanagt intensif (kekerasan dan korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta beberapa kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu pendatang vs penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian, namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu. [5]
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.
Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.


Penyelesaian Konflik Poso, 4 Kesepakatan Diimplementasikan
Selasa, 31 Oktober 2006 09:59:00 | Berita Nasional | (6574 view)
Kesepakatan pertama dalam pertemuan itu, menurut Wa­pres, adalah tentang penekan­an penyelesaian masalah secara damai melalui dialog yang me­libatkan semua pihak. Untuk mewujudkan ini, antara lain de­ngan menghidupkan kembali kelompok kerja Malino dalam rangka meningkatkan silatu­rahmi dan dialog antartokoh agama dan masyarakat. Dalam kesepakatan kedua, menurut Wapres, seluruh pi­hak menyatakan bahwa aksi te­ror yang terjadi di Poso diang­gap sebagai musuh bersama yang harus diatasi. “Kita harus atasi secara terbuka, artinya transparan. Semua harus mem­berikan saksi. Kita selesaikan secara hukum,” kata Wapres da­lam konferensi pers, kemarin. Ketiga, khusus insiden di Ta­nah Runtuh, Wapres mengung­kapkan disetujui pembentukan tim investigasi pencari fakta. Tim ini akan diketuai oleh pejabat dari Kementerian Politik, Hu­kum, dan Keamanan dengan melibatkan TNI, Polri, dan MUI (Melis Ulama Indonesia). Sebagai kesepakatan keem­pat, demikian Wapres, peme­rintah berencana menghidup­kan kondisi sosial dan ekonomi di Poso. Rencananya, pemerin­tah akan mengirimkan Menteri Sosial (Mensos) dan Menteri Pekerjaan Umum guna melihat kondisi sosial dan ekonomi di Poso. Bahkan, pemerintah pu­sat akan mengeluarkan dana pendukung untuk hal ini. “Kita akan memberikan da­na yang cukup untuk mengge­rakkan ekonomi masyarakat agar generasi muda bisa beker­ja,” jelas Wapres. Terkait hal ini, Departemen Sosial telah menyiapkan dana sebesar Rp18 miliar untuk pro­gram rehabilitasi sosial konflik di Poso. Dana tersebut akan di­gunakan untuk pembangunan infrastruktur lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masya­rakat korban konflik. “Sesuai Su­rat Kuasa Pengguna Anggaran (SKPA) dana yang telah diang­garkan Rp18 miliar untuk Poso,” kata Direktur Jenderal Ja­minan Bantuan Sosial Departe­men Sosial (Depsos) Chazali H Situmorang. Sementara itu, Wapres dalam kesempatan itu menegaskan pula, pemerintah melalui kepo­lisian telah menangkap banyak pelaku teror di Poso yang terjadi beberapa waktu lalu. Pernyata­an Wapres ini didukung papar­an Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam. Dikatakan Anton, selama ini Polri terus intensif melaku­kan penyidikan terhadap kasus-­kasus yang terjadi di sana. Anton mengatakan, serang­kaian kerusuhan Poso dan Palu sejak tahun 2001 sampai saat ini dilakukan dua kelompok kecil: kelompok Tanah Runtuh dan kelompok Kaya Maya Kompak. 'Menurutnya, kedua kelompok inilah yang melakukan serang­kaian kerusuhan di Sulteng sela­ma ini. Dari berbagai aksi keja­hatan yang dilakukan kedua ke­lompok itu, Polri telah mengung­kap 13 kasus dan menangkap 15 tersangka. “Saat ini Polri tengah mengejar 29 lagi pelaku kerusuh­an yang diduga dilakukan dua kelompok tersebut,” kata Anton kepada SINDO, kemarin. Kasus-kasus yang berhasil di­ungkap adalah 10 kasus teror bom, perampokan, serta pe­nembakan. Misalnya, kasus pembunuhan I Wayan Suma­ryase yang teIjadi 2001; pembu­nuhan Bendahara Gereja GKSP Morante Jaya pada 2003; ledak­an bom di Pasar Tentena dan Pasar Sentral Poso pada 2004; dan mutilasi tiga siswi Poso





Dampak yang Ditimbulkan Paska Konflik Di Poso

Kerusuhan yang terjadi di Poso menimbulkan dampak sosial yang cukup besar. jika di liat dari kerugian yang di akibatkan konflik tersebut. Selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis juga berdampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu, Dampak psikologis tidak akan hilang dalam waktu singkat. Jika dilihat dari keseluruhan, kerusuhan Poso bukan suatu kerusuhan biasa, melainkan merupakan suatu tragedi kemanusiaan sebagai buah hasil perang sipil. Satu kerusuhan yang dilancarkan secara sepihak oleh kelompok merah, terhadap penduduk muslim kota Poso dan minoritas penduduk muslim di pedalaman kabupaten Poso yang tidak mengerti sama sekali dengan permasalahan yang muncul di kota Poso.

Dampak kerusuhan poso dari beberapa segi :
a. Bidang Budaya
  1. Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapai tujuan politiknya.
  2. Runtuhnya nilai – nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesatuan yang menjadi bingkai dalam hubungan sosial masyarakat Poso.
b. Bidang Hukum
  1. Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitu kelompok merah dan kelompok putih.
  2. Tidak dapat dipertahankan nilai-nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan terhadap manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak serta orang tua dan pelecehan seksual.
  3. Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hukum di masyarakat Kabupaten Poso.
  4. Munculnya perasaan dendam dari korban-korban kerusuhan terhadap pelaku kerusuhan.
c. Bidang Politik
  1. Terhentinya roda pemerintahan.
  2. Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah di mata masyarakat.
  3. Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing – masing kelompok kepentingan.
  4. Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.
d. Dibidang Ekonomi
  1. Lepas dan hilangnya faktor dan sumber produksi ekonomi masyarakat, seperti sawah, tanaman kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.
  2. Terhentinya roda perekonomian.
  3. Rawan pangan.
  4. Munculnya pengangguran dan kelangkaan kesempatan kerja.
Solusi Konflik Di Poso

Jakarta, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkap¬kan, ada empat hal pokok yang telah menjadi kesepakatan ber¬sama dalam penyelesaian konflik Poso. Kesepakatan yang merupakan hasil dialog pemerintah dengan tokoh masyarakat dan agama di Poso Minggu (29/10) itu akan segera diimplementasi¬kan dalam langkah konkret.

Kesepakatan pertama dalam pertemuan itu, menurut Wa¬pres, adalah tentang penekan¬an penyelesaian masalah secara damai melalui dialog yang me¬libatkan semua pihak. Untuk mewujudkan ini, antara lain de¬ngan menghidupkan kembali kelompok kerja Malino dalam rangka meningkatkan silatu¬rahmi dan dialog antartokoh agama dan masyarakat.

Dalam kesepakatan kedua, menurut Wapres, seluruh pi¬hak menyatakan bahwa aksi te¬ror yang terjadi di Poso diang¬gap sebagai musuh bersama yang harus diatasi. “Kita harus atasi secara terbuka, artinya transparan. Semua harus mem¬berikan saksi. Kita selesaikan secara hukum,” kata Wapres da¬lam konferensi pers.

Ketiga, khusus insiden di Ta¬nah Runtuh, Wapres mengung¬kapkan disetujui pembentukan tim investigasi pencari fakta. Tim ini akan diketuai oleh pejabat dari Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan dengan melibatkan TNI, Polri, dan MUI (Melis Ulama Indonesia).

Sebagai kesepakatan keem¬pat, demikian Wapres, peme¬rintah berencana menghidup¬kan kondisi sosial dan ekonomi di Poso. Rencananya, pemerin¬tah akan mengirimkan Menteri Sosial (Mensos) dan Menteri Pekerjaan Umum guna melihat kondisi sosial dan ekonomi di Poso. Bahkan, pemerintah pu¬sat akan mengeluarkan dana pendukung untuk hal ini.

“Kita akan memberikan da¬na yang cukup untuk mengge¬rakkan ekonomi masyarakat agar generasi muda bisa beker¬ja,” jelas Wapres.

Terkait hal ini, Departemen Sosial telah menyiapkan dana sebesar Rp18 miliar untuk pro¬gram rehabilitasi sosial konflik di Poso. Dana tersebut akan di¬gunakan untuk pembangunan infrastruktur lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masya¬rakat korban konflik. “Sesuai Su-rat Kuasa Pengguna Anggaran (SKPA) dana yang telah diang¬garkan Rp18 miliar untuk Poso,” kata Direktur Jenderal Ja¬minan Bantuan Sosial Departe¬men Sosial (Depsos) Chazali H Situmorang.

Sementara itu, Wapres dalam kesempatan itu menegaskan pula, pemerintah melalui kepo¬lisian telah menangkap banyak pelaku teror di Poso yang terjadi beberapa waktu lalu. Pernyata¬an Wapres ini didukung papar¬an Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam. Dikatakan Anton, selama ini Polri terus intensif melaku¬kan penyidikan terhadap kasus-¬kasus yang terjadi di sana.

Anton mengatakan, serang¬kaian kerusuhan Poso dan Palu sejak tahun 2001 sampai saat ini dilakukan dua kelompok kecil: kelompok Tanah Runtuh dan kelompok Kaya Maya Kompak. 'Menurutnya, kedua kelompok inilah yang melakukan serang¬kaian kerusuhan di Sulteng sela-ma ini. Dari berbagai aksi keja¬hatan yang dilakukan kedua ke¬lompok itu, Polri telah mengung-kap 13 kasus dan menangkap 15 tersangka. “Saat ini Polri tengah mengejar 29 lagi pelaku kerusuh¬an yang diduga dilakukan dua kelompok tersebut,” kata Anton kepada SINDO.

Kasus-kasus yang berhasil di¬ungkap adalah 10 kasus teror bom, perampokan, serta pe-nembakan. Misalnya, kasus pembunuhan I Wayan Suma¬ryase yang teIjadi 2001; pembu¬nuhan Bendahara Gereja GKSP Morante Jaya pada 2003; ledak¬an bom di Pasar Tentena dan Pasar Sentral Poso pada 2004; dan mutilasi tiga siswi Poso.
Share on Google Plus

About Azqi Net

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar